TUGAS MANDIRI IMPLEMENTASI PANCASILA DI ERA SETELAH REFORMASI MATA KULIAH : PANCASILA
TUGAS MANDIRI
IMPLEMENTASI PANCASILA DI ERA SETELAH REFORMASI
MATA KULIAH : PANCASILA
DISUSUN OLEH :
NAMA : ABDI
MAULANA
NPM : 141510123
UNIVERSITAS PUTERA BATAM
TAHUN 2014
Puji Syukur Marilah kita ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
Yang telah melimpahkan Rahmat dan karuniaNYA kepada kita semua, sehingga
melalui proses yang panjang dan kerjasama yang baik tugas makalah (artikel) “
Pendidikan Pancasila “ ini dapat diselesaikan.
Makalah (artikel) ini dibuat dengan maksud untuk salah satu
persyaratan nilai Pendukung Ujian akhir semester, disamping itu makalah
(artikel) ini juga memberikan manfaat kepada kita semua tentang Implementasi
Pancasila diera Setelah Reformasi.
Dan
tidak lupa saya ucapkan terimakasih kepada “Team Dosen” Selaku dosen pemandu
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang telah membimbing saya dalam
mengerjakan tugas makalah (artikel) ini serta teman-teman yang telah memberikan
masukan.
Diharapkan makalah (artikel) ini dapat bermanfaat bagi kita
semua,oleh karena itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca, dan pihak-pihak yang telah ikut membantu pembuatan makalah
(artikel) ini.
Akhir kata saya mengucapkan terima kasih kepada pihak
yang telah mendukung,membantu dan bekerja sama dalam penyusunan makalah
(artikel) ini.
Batam,Desember 2014
ABDI
MAULANA
DAFTAR ISI
Setelah bangsa Indonesia berhasil merebut kedaulatan dan
berhasil mendirikan negara merdeka, perjuangan belum selesai. Perjuangan malah
bisa dikatakan baru mulai, yaitu upaya menciptakan masyarakat yang sejahtera
lahir batin, sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945. Para pendiri
Negara (the founding father) telah sepakat bahwa kemerdekaan bangsa akan diisi
nilai-nilai yang telah ada dalam budaya bangsa, kemudian disebut nilai-nilai
Pancasila.
Pancasila mulai dibicarakan sebagai dasar negara mulai
tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPPK oleh Ir. Soekarno dan pada tanggal 18
Agustus 1945 Pancasila resmi dan sah menurut hukum menjadi dasar negara
Republik Indonesia. Kemudian mulai Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Ketetapan
MPRS No. XX/MPRS/1966 berhubungan dengan Ketetapan No. I/MPR/1988 No.
I/MPR/1993, Pancasila tetap menjadi dasar falsafah Negara Indonesia hingga
sekarang.
Akibat hukum dari disahkannya Pancasila sebagai dasar
negara, maka seluruh kehidupan bernegara dan bermasyarakat haruslah didasari
oleh Pancasila. Landasan hukum Pancasila sebagai dasar negara memberi akibat
hukum dan filosofis; yaitu kehidupan negara dari bangsa ini haruslah berpedoman
kepada Pancasila. Bagaimana sebetulnya implementasi Pancasila dalam sejarah
Indonesia selama ini dan pentingnya upaya untuk mengimplementasikan nilai-nilai
Pancasila yang setelah reformasi mulai ditinggalkan demi tegaknya persatuan dan
kesatuan NKRI.
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara dapat dikatakan
mulai pada masa orde lama, tanggal 18 Agustus 1945 sehari setelah Indonesia
baru memproklamirkan diri kemerdekaannya. Apalagi Soekarno akhirnya menjadi
presiden yang pertama Republik Indonesia.
Pancasila yang merupakan dasar dan ideologi negara dan
bangsa wajib diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan bernegara. Dalam
mewujudkan Pancasila melalui kebijakan ternyata tidaklah mulus, karena sangat
dipengaruhi oleh pimpinan yang menguasai negara, sehingga pengisian kemerdekaan
dengan nilai-nilai Pancasila menampilkan bentuk dan diri tertentu
Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan
paradigma yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya
konflik ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan keamanan dalam negeri
diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana
transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka.
Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama
dalam sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang
berbeda-beda pada masa orde lama. Terdapat 3 periode implementasi Pancasila
yang berbeda, yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan periode
1959-1966.
Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja
menjadi masalah, tetapi lebih dari itu ada upaya-upaya untuk mengganti
Pancasila sebagai dasar negara dengan faham komunis oleh PKI melalui
pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan oleh DI/TII yang akan mendirikan negara
dengan dasar islam. Pada periode ini, nilai persatuan dan kesatuan masih tinggi
ketika menghadapi Belanda yang masih ingin mempertahankan penjajahannya di bumi
Indonesia. Namun setelah penjajah dapat diusir, persatuan mulai mendapat
tantangan. Dalam kehidupan politik, sila keempat yang mengutamakan musyawarah
dan mufakat tidak dapat dilaksanakan,
sebab demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi
parlementer, dimana presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara, sedang
kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Sistem ini menyebabkan tidak
adanya stabilitas pemerintahan. Kesimpulannya walaupun konstitusi yang
digunakan adalah Pancasila dan UUD 1945 yang presidensiil, namun dalam praktek
kenegaraan system presidensiil tak dapat diwujudkan.
Pada periode 1950-1959, walaupun dasar negara tetap
Pancasila, tetapi rumusan sila keempat bukan berjiwakan musyawarah mufakat,
melainkan suara terbanyak (voting). Sistem pemerintahannya yang liberal
sehingga lebih menekankan hak-hak individual. Pada periode ini persatuan dan
kesatuan mendapat tantangan yang berat dengan munculnya pemberontakan RMS,
PRRI, dan Permesta yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Dalam bidang politik, demokrasi
berjalan lebih baik dengan terlaksananya pemilu 1955 yang dianggap paling
demokratis.
Pada periode 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi
terpimpin. Demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin
adalah nilai-nilai Pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden
Soekarno. Terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila dalam
konstitusi. Akibatnya Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden
seumur hidup, politik konfrontasi, menggabungkan Nasionalis, Agama, dan
Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI. Terbukti adanya kemerosotan moral
di sebagian masyarakat yang tidak lagi hidup bersendikan nilai-nilai Pancasila,
dan berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. Dalam mengimplentasikan
Pancasila, Bung Karno melakukan pemahaman Pancasila dengan paradigma yang
disebut USDEK. Untuk memberi arah perjalanan bangsa, beliau menekankan
pentingnya memegang teguh UUD 45, sosialisme ala Indonesia,demokrasi terpimpin,
ekonomi terpimpin dan kepribadian nasional. Hasilnya terjadi kudeta PKI dan
kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Walaupun posisi Indonesia tetap dihormati
di dunia internasional dan integritas wilayah serta semangat kebangsaan dapat
ditegakkan. Kesimpulan yang ditarik adalah Pancasila telah diarahkan sebagai
ideology otoriter, konfrotatif dan tidak member ruang pada demokrasi bagi
rakyat.
Orde baru berkehendak ingin melaksanakan Pancasila dan UUD
1945 secara murni dan konsekuen sebagai kritik terhadap orde lama yang telah
menyimpang dari Pancasila. Situasi internasional kala itu masih diliputi
konflik perang dingin. Situasi politik dan keamanan dalam negeri kacau dan
ekonomi hampir bangkrut. Indonesia dihadapkan pada pilihan yang sulit, memberikan
sandang dan pangan kepada rakyat atau mengedepankan kepentingan strategi dan
politik di arena internasional seperti yang dilakukan oleh Soekarno.
Dilihat dari konteks zaman, upaya Soeharto tentang
Pancasila, diliputi oleh paradigma yang esensinya adalah bagaimana menegakkan
stabilitas guna mendukung rehabilitasi dan pembangunan ekonomi. Istilah
terkenal pada saat itu adalah stabilitas politik yang dinamis diikuti dengan
trilogi pembangunan. Perincian pemahaman Pancasila itu sebagaimana yang kita
lihat dalam konsep P4 dengan esensi selaras, serasi dan seimbang. Soeharto
melakukan ijtihad politik dengan melakukan pemahaman Pancasila melalui apa yang
disebut dengan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau
Ekaprasetia Pancakarsa. Itu tentu saja didasarkan pada pengalaman era
sebelumnya dan situasi baru yang dihadapi bangsa.
Pada awalnya memang memberi angin segar dalam pengamalan
Pancasila, namun beberapa tahun kemudian kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
ternyata tidak sesuai dengan jiwa Pancasila. Walaupun terjadi peningkatan
kesejahteraan rakyat dan penghormatan dari dunia internasional, Tapi kondisi
politik dan keamanan dalam negeri tetap rentan, karena pemerintahan
sentralistik dan otoritarian. Pancasila ditafsirkan sesuai kepentingan kekuasaan
pemerintah dan tertutup bagi tafsiran lain. Demokratisasi akhirnya tidak
berjalan, dan pelanggaran HAM terjadi dimana-mana yang dilakukan oleh aparat
pemerintah atau negara. Pancasila seringkali digunakan sebagai legimitator
tindakan yang menyimpang. Ia dikeramatkan sebagai alasan untuk stabilitas
nasional daripada sebagai ideologi yang memberikan ruang kebebasan untuk
berkreasi. Kesimpulan, Pancasila selama Orde Baru diarahkan menjadi ideology
yang hanya menguntungkan satu golongan, yaitu loyalitas tunggal pada pemerintah
dan demi persatuan dan kesatuan hak-hak demokrasi dikekang.
Seperti juga Orde Baru yang muncul dari koreksi terhadap
Orde Lama, kini Orde Reformasi, jika boleh dikatakan demikian, merupakan orde
yang juga berupaya mengoreksi penyelewengan yang dilakukan oleh Orde Baru.
Hak-hak rakyat mulai dikembangkan dalam tataran elit maupun dalam tataran
rakyat bawah. Rakyat bebas untuk berserikat dan berkumpul dengan mendirikan
partai politik, LSM, dan lain-lain. Penegakan hukum sudah mulai lebih baik
daripada masa Orba. Namun, sangat disayangkan para elit politik yang
mengendalikan pemerintahan dan kebijakan kurang konsisten dalam penegakan
hukum. Dalam bidang sosial budaya, disatu sisi kebebasan berbicara, bersikap,
dan bertindak amat memacu kreativitas masyarakat. Namun, di sisi lain justru
menimbulkan semangat primordialisme. Benturan antar suku, antar umat beragama,
antar kelompok, dan antar daerah terjadi dimana-mana. Kriminalitas meningkat
dan pengerahan masa menjadi cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang
berpotensi tindakan kekerasan.
Kondisi nyata saat ini yang dihadapi adalah munculnya ego
kedaerahan dan primordialisme sempit, munculnya indikasi tersebut sebagai salah
satu gambaran menurunnya pemahaman tentang Pancasila sebagai suatu ideologi,
dasar filsafati negara, azas, paham negara. Padahal seperti diketahui Pancasila
sebagai sistem yang terdiri dari lima sila (sikap/ prinsip/pandangan hidup) dan
merupakan suatu keutuhan yang saling menjiwai dan dijiwai itu digali dari
kepribadian bangsa Indonesia yang majemuk bermacam etnis/suku bangsa, agama dan
budaya yang bersumpah menjadi satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa
persatuan, sesuai dengan sesanti Bhineka Tunggal Ika.
Orde Reformasi yang baru berjalan beberapa tahun telah
memiliki empat Presiden. Pergantian presiden sebelum waktunya karena berbagai
masalah. Pada era Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarno Putri,
Pancasila secara formal tetap dianggap sebagai dasar dan ideologi negara, tapi hanya
sebatas pada retorika pernyataan politik. Ditambah lagi arus globalisasi dan
arus demokratisasi sedemikian kerasnya, sehingga aktivis-aktivis prodemokrasi
tidak tertarik merespons ajakan dari siapapun yang berusaha mengutamakan
pentingnya Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara.
Ideologi negara yang seharusnya menjadi acuan dan landasan
seluruh elemen bangsa Indonesia khususnya para negarawan dan para politisi
serta pelaku ekonomi dalam berpartisipasi membangun negara, justru menjadi
kabur dan terpinggirkan. Hasilnya NKRI mendapat tantangan yang berat.
Timor-Timur yang telah lama bergabung dalam NKRI melalui perjuangan dan
pengorbanan lepas dengan sekejap pada masa reformasi tersebut. Daerah-daerah
lain juga mengancam akan berdiri sendiri bila tuntutannya tidak dipenuhi oleh
pemerintah pusat. Tidak segan-segan, sebagian masyarakat menerima aliran dana
asing dan rela mengorbankan kepentingan bangsanya sebagai imbalan dolar.
Pancasila mengandung makna yang amat penting bagi sejarah
perjalanan Bangsa Indonesia. Karena itulah Pancasila dijadikan sebagai dasar
negara ini. Artinya segala tindak tanduk dari orang-orang yang termaktub
sebagai warga negara dari republik yang bernama Indonesia, haruslah didasarkan
pada nilai-nilai dan semangat Pancasila. Apakah dia sebagai seorang politisi,
birokrat, aktivis, buruh, mahasiswa dan lain sebagainya. Pancasila dan UUD 1945
sudah final dan tidak boleh lagi diganggu gugat sebagai landasan dan falsafah
yang mengatur dan mengikat kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila pun
terbukti sangat ampuh sebagai pedoman kehidupan bersama, termasuk kehidupan
dalam berpolitik. Tidak ada yang lain. Ideologi Pancasila dan UUD 1945 tidak
perlu lagi diperdebatkan lagi. Itu sudah menjadi kesepakatan masyarakat
Indonesia ketika negara ini didirikan. Bahkan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila tersebut adalah hasil dari penggalian karakter dan budaya masyarakat
Indonesia.
Sejarah kesaktian Pancasila adalah sejarah yang sangat berharga. Peringatan Hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober, harus dijadikan sebagai kesempatan untuk merefleksikan tentang pemaknaan nilai-nilai dan kesaktian Pancasila itu sendiri. Pancasila adalah dasar negara. Pancasila adalah asal tunggal dan menjadi sumber dari segala sumber hukum yang mengatur masyarakat Indonesia, termasuk kehidupan berpolitik. Karena itu, partai politik sebagai salah satu infrastruktur politik dan segala sesuatu yang hadir dan lahir di negara ini, harus tunduk dan taat pada Pancasila.Indoktrinasi Pancasila yang dilakukan pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun ternyata tidak banyak menyentuh pemahaman publik atas dasar negara Indonesia itu. Pancasila lebih banyak dimaknai sebagai konsepsi dan alat politik penguasa. Memang rezim Orde Baru berhasil mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sekaligus berhasil mengatasi paham komunis di Indonesia.Akan tetapi, implementasi dan aplikasinya sangat mengecewakan kita semua. Sadar atau tidak sadar, rezim Orde Baru kian lama kian menggeser hakekat perjuangan mempertahankan Pancasila menjadi perjuangan untuk mempertahankan kekuasaan. Acapkali kiat yang digunakan rezim Orde Baru dalam menghadapi sikap yang berseberangan dengan pemerintah ialah dengan membenturkannya dengan persoalan ideologi. Ideologi yang sebenarnya bersifat sistemik tidak boleh bertentangan dengan ideologi yang resmi yaitu Pancasila yang sudah direduksi oleh ideologi negara/Orde Baru.
Sejarah kesaktian Pancasila adalah sejarah yang sangat berharga. Peringatan Hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober, harus dijadikan sebagai kesempatan untuk merefleksikan tentang pemaknaan nilai-nilai dan kesaktian Pancasila itu sendiri. Pancasila adalah dasar negara. Pancasila adalah asal tunggal dan menjadi sumber dari segala sumber hukum yang mengatur masyarakat Indonesia, termasuk kehidupan berpolitik. Karena itu, partai politik sebagai salah satu infrastruktur politik dan segala sesuatu yang hadir dan lahir di negara ini, harus tunduk dan taat pada Pancasila.Indoktrinasi Pancasila yang dilakukan pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun ternyata tidak banyak menyentuh pemahaman publik atas dasar negara Indonesia itu. Pancasila lebih banyak dimaknai sebagai konsepsi dan alat politik penguasa. Memang rezim Orde Baru berhasil mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sekaligus berhasil mengatasi paham komunis di Indonesia.Akan tetapi, implementasi dan aplikasinya sangat mengecewakan kita semua. Sadar atau tidak sadar, rezim Orde Baru kian lama kian menggeser hakekat perjuangan mempertahankan Pancasila menjadi perjuangan untuk mempertahankan kekuasaan. Acapkali kiat yang digunakan rezim Orde Baru dalam menghadapi sikap yang berseberangan dengan pemerintah ialah dengan membenturkannya dengan persoalan ideologi. Ideologi yang sebenarnya bersifat sistemik tidak boleh bertentangan dengan ideologi yang resmi yaitu Pancasila yang sudah direduksi oleh ideologi negara/Orde Baru.
Produk hukum Orde Lama, yaitu UU No. 11/PNPS/ 1963 tentang
Anti Subversi merupakan salah satu alat yang dipakai penguasa Orde Baru untuk
menjerat pi hak-pihak yang dianggap berseberangan dengan pemerintah dengan
dalih GPK, PKI, OTB, dan sebagainya. Penguasa Orde Baru bukan lagi memberantas
kejahatan terhadap negara tetapi justru mereka telah melakukan berbagai bentuk
kejahatan politik dan melanggar HAM. Dengan subjektivitasnya, penguasa ORBA
bertindak sebagai "wasit" yang menilai warganya, apakah perbuatan
seseorang itu tergolong subversif atau bukan. Dalam hal ini hanya masyarakat pembangkang
saja yang diposisikan sebagai obyek UU Subversi itu. Sedangkan pihak-pihak yang
melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi bahagian dari sistem
pemerintahan Orde Baru. Ditinjau dari segi demokrasi sebagai wujud pelaksanaan
Sila IV, rezim Orde Baru justru menghambat proses demokratisasi itu sendiri.
Antara lain; dengan proses departaisasi atau pembatasan jumlah partai,
pengekangan kebebasan pers, penahanan dan penculikan para aktivis demokrasi,
rekayasa politik, kecurangan dalam pemilu, dan sebagainya. Di bidang hukum,
penyelesaian kasus yang berkaitan dengan penguasa tidak mencerminkan rasa
keadilan, misalnya; kasus Marsinah, kasus Kedung Ombo, kasus Ohee (Irian Jaya),
kasus Udin, kasus Jamsostek yang melibatkan pejabat negara, dan lain-lain.
Akumulasi ketidakadilan dan kebobrokan rezim Orde Baru
seakan-akan memuncak ketika gong reformasi mulai dibunyikan. Akibatnya,
menjelang dan sesudah Soeharto "lengser" dari jabatan Presiden RI, 21
Mei 1998 lalu, berbagai peristiwa dan kondisi buruk kembali mewarnai kehidupan
bangsa kita sekaligus menjadi cobaan berat bagi Pancasila sebagai dasar dan
ideology negara. Pemaknaan baru selama Orde Reformasi, di satu sisi, juga
memperlemah memori publik soal dasar negara ini. Orde Baru sepanjang
kekuasaannya bisa menanamkan Pancasila sebagai doktrin absolut. Upaya
doktrinasi dilakukan secara komprehensif lewat pendidikan. Ideologisasi
Pancasila tak hanya ditekankan dalam sistem kepartaian dan praktik politik,
tetapi juga dalam ranah pendidikan, mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai
perguruan tinggi. Ideologisasi yang dilakukan secara represif di tatar
pendidikan mengarah pada pengultusan Pancasila sebagai simbol keramat. Ini
dilakukan melalui langkah seperti pembacaan teks Pancasila di setiap upacara di
setiap sekolah dari sekolah dasar hingga sekolah tingkat atas, indoktrinasi
melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), hingga pendidikan
kewiraan di tingkat perguruan tinggi. Pascaruntuhnya Orde Baru, gelombang
keterbukaan membuka kemungkinan masyarakat untuk memaknai ulang Pancasila
sebagai dasar negara. Wacana soal apakah Pancasila merupakan ideologi atau
bukan berkembang selama rezim reformasi. Sejumlah kelompok menerjemahkan
Pancasila bukan sebagai ideologi, melainkan kontrak sosial yang dirumuskan para
founding fathers saat mendirikan negara ini.
Onghokham adalah salah satu tokoh yang menyatakan Pancasila bukanlah falsafah atau ideologi. Pancasila adalah dokumen politik dalam proses pembentukan negara baru, yakni kontrak sosial yang merupakan persetujuan atau kompromi di antara sesama warga negara tentang asas negara baru. Ia menyamakan Pancasila dengan dokumen penting beberapa negara lain, seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Right di Amerika Serikat, atau Droit de l’homme di Perancis. Pancasila sebagai sebuah kontrak sosial dari pendiri bangsa ini faktanya memang mampu bertahan hingga kini. Sejarah mencatat sejumlah upaya penggeseran landasan negara kepada bentuk asas lainpada masa awal berdirinya bangsa ini menemui kegagalan.
Onghokham adalah salah satu tokoh yang menyatakan Pancasila bukanlah falsafah atau ideologi. Pancasila adalah dokumen politik dalam proses pembentukan negara baru, yakni kontrak sosial yang merupakan persetujuan atau kompromi di antara sesama warga negara tentang asas negara baru. Ia menyamakan Pancasila dengan dokumen penting beberapa negara lain, seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Right di Amerika Serikat, atau Droit de l’homme di Perancis. Pancasila sebagai sebuah kontrak sosial dari pendiri bangsa ini faktanya memang mampu bertahan hingga kini. Sejarah mencatat sejumlah upaya penggeseran landasan negara kepada bentuk asas lainpada masa awal berdirinya bangsa ini menemui kegagalan.
Namun, setelah melampaui sekian banyak tantangan, eksistensi
Pancasila sejauh ini masih banyak dimaknai sebagai konsepsi politik yang
substansinya belum mampu diwujudkan secara riil. Semenjak Orba
ditumbangkan oleh gerakan reformasi, Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia
telah kehilangan tempatnya yang mapan. Semacam ada phobia dan ke-alergi-an
masyarakat negara-bangsa ini untuk mengakui Pancasila apalagi mencoba untuk
menelaahnya. Meskipun negara ini masih menjaga suatu konsensus dengan
menyatakan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Namun secara faktual, agaknya
kita harus mempertanyakannya kembali. Karena saat ini debat tentang masih
relevan atau tidaknya Pancasila dijadikan ideologi masih kerap terjadi. Apalagi
ditengah kegalauan dan kegagalan negara-bangsa menapak dengan tegak jalur
sejarahnya sehingga selalu jatuh bangun dan labil.Pancasila sebagai
satu-satunya ideologi yang diakui di negeri ini, sempat menjadi sema.sudah
hitungan tahun Indonesia memasuki era reformasi. Berbagai perubahan dilakukan
untuk memperbaiki sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di bawah payung
ideologi Pancasila.
Namun, faktanya masih banyak masalah sosial-ekonomi yang
belum terjawab. Eksistensi dan peranan Pancasila dalam reformasi pun
dipertanyakan. Mampukah Pancasila memberikan pengharapan lebih baik untuk
negeri ini? Dilihat dari faktanya sungguh memprihatinkan. Reformasi belum
berlansung dengan baik karena Pancasila belum difungsikan secara maksimal
sebagaimana mestinya. Banyak masyarakat yang hafal butir-butir Pancasila, tetapi
belum memahami makna sesungguhnya.
Bangsa Indonesia merasakan delapan tahun berselang ini, terutama pada awal-awal reformasi, di sana-sini dalam penggal-penggal waktu tertentu muncul semacam disorientasi, penolakan, konflik, kegamangan, pesimisme, apatisme, demoralisasi, kekosongan, kemarahan dan bahkan kebencian. “Kita alami bersama-sama dan sebagian sudah dapat kita lewati, sebagian masih kita rasakan sisanya, sebagian masih terasa mencekam dalam kehidupan kita bersama dewasa ini. Orang lantas sering berbicara lantang, kita mesti membangun Indonesia baru karena itu dalam konteks itu muncul sejumlah kecenderungan. Secara sosiologis kita mengetahui kerawanan dalam masa transisi, nilai dan tatanan lama telah ditinggalkan, sementara nilai dan tatanan baru belum terwujudngat perjuangan dan pemikiran setiap warga negara Indonesia.
Bangsa Indonesia merasakan delapan tahun berselang ini, terutama pada awal-awal reformasi, di sana-sini dalam penggal-penggal waktu tertentu muncul semacam disorientasi, penolakan, konflik, kegamangan, pesimisme, apatisme, demoralisasi, kekosongan, kemarahan dan bahkan kebencian. “Kita alami bersama-sama dan sebagian sudah dapat kita lewati, sebagian masih kita rasakan sisanya, sebagian masih terasa mencekam dalam kehidupan kita bersama dewasa ini. Orang lantas sering berbicara lantang, kita mesti membangun Indonesia baru karena itu dalam konteks itu muncul sejumlah kecenderungan. Secara sosiologis kita mengetahui kerawanan dalam masa transisi, nilai dan tatanan lama telah ditinggalkan, sementara nilai dan tatanan baru belum terwujudngat perjuangan dan pemikiran setiap warga negara Indonesia.
Eksistensi Pancasila di era reformasi ini mestinya menjadi
dasar, acuan atau paradigma baru. Pancasila adalah dasar negara yang sesuai
dengan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam UUD 1945. Tetapi sekarang
bangsa ini sering mengenyampingkan Pancasila. Padahal reformasi yang benar
justru melaksanakan atau mengamalkan Pancasila untuk kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat. Dengan jiwa Pancasila seharusnya gerakan reformasi
harus mampu menggalang persatuan demi pembenahan krisis multidimensional dewasa
ini. Tidak satu golonganpun bisa memenangkan reformasi tanpa persatuan dengan
golongan-golongan lainnya. Pengalaman kegagalan dan kemacetan gerakan reformasi
selama ini telah membuktikan hal itu. Dengan persatuan setapak demi setapak
gerakan reformasi akan diharapkan membawa Indonesia menjadi negara yang
demokratik, kuat sentosa, aman tenteram dan adil makmur. Harap dicamkan:
”Persatuanlah yang membawa kita ke arah kebesaran dan kemerdekaan..” Dan agar
persatuan bisa tercapai: “Kita harus bisa menerima; tetapi kita juga harus bisa
memberi. Inilah rahasianya Persatuan” Demikianlah “2 kalimat kunci persatuan”
Bung Karno yang diamanatkan kepada kita bangsa Indonesia 76 tahun yang lalu.Agar
Pancasila yang telah dikaitkan langsung dengan doktrin Bhinneka Tunggal Ika itu
dapat berjalan dengan stabil, seluruh kaidahnya harus dituangkan dalam format
hukum, yang selalu harus dijaga agar sesuai dengan perkembangan rasa keadilan
masyarakat. Kita patut bersyukur, bahwa empat kali amandemen UUD 1945 dalam era
reformasi nasional telah mampu menampung dinamika bangsa ini, khususnya dengan
mengakui kesetaraan antara berbagai unsur dalam batang tubuh bangsa Indonesia
serta mewadahinya dalam sistem dan struktur pemerintahan yang baru.
· Konsep
Pancasila sebagai asar negara di ajukan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya di
hari terakhir siding pertama BPUPKI tanggal 1 juni 1945, yang isinya untuk
menjadikan Pancasila sebagai dasar falsafah negara atau filosophischegrondslag
bagi mnegara Indopnesia merdeka.
Bangsa dan
negara RI dengan ideologi Pancasila meiliki cita-cita atau pandangan dalam
mendukung tercapainya tujuan nasional negara RI. Idiologi pancasila
memiliki berbagai aspek, baik berupa cita-cita pemikiran atau nilai-nilai
maupun norma yang baik dapat di realisasikan dalam kehidupan praksis dan
bersifat terbuka dengan memiliki tiga dimensi yaitu:
a. Dimensi idialis artinya nilai-nilai dasar dari
pancasila memilikiu sifat yang sistematis,juga rasional dan bersifat
menyeluruh.
b. Dimensi normatis merupakan nilai-nilai yang
terrkandung dalam sila pancasila yang perlu di jabarkan kedalam system norma
sehingga tersirat dan tersurat dalam norma-norma negara.
c. Dimensi realistis adalah nilai-nilai pancasila
yang di maksud di atas harus mampu memberikan pencerminan atas realitas yang
hidup dan berkembang dalam penyelenggaraan negara.
Pancasila
sebagai ideologi bangsa Indonesia memiliki perbedaan dengan sistem
kapitalisme-liberal maupun sosialisme-komunis. Pancasila mengakui dan
melindungi baik hak-hak individu maupun hak masyarakat baik di bidang ekonomi
maupun politik. Dengan demikian ideologi kita mengakui secara selaras baik
kolektivisme maupun individualisme. Demokrasi yang dikembangkan, bukan
demokrasi politik semata seperti dalam ideologi liberal-kapitalis, tetapi juga
demokrasi ekonomi. Dalam sistem kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan
usaha bersama dan kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha.
Sedangkan dalam sistem etatisme, negara yang mendominasi perekonomian, bukan
warga negara baik sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga negara
lainnya
Kegunaan teoritik bahwa dengan mempelajari
filsafat orang bertambah pengetahuanya.bahkan ia mampu mempelajari segala
sesuatu dengan cara yang baik.mendalam dan lebih luas.
Bagi bangsa Indonesia , filsafat Pancasila sangat berguna,
selain manusia sebagai perseorangan juga sebagai warga suatu masyarakat bangsa
mendukung cita-cita ataupun tujuan nasional, karena filsafat pancasila adalah
landasan dasarnya, juga landasan dasar berpikir segenap bangsa dan negara
Indonesia.
· Menghadapi
era globalisasi ekonomi, ancaman bahaya laten terorisme, komunisme dan
fundamentalisme merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia.
Disamping itu yang patut diwaspadai adalah pengelompokan suku bangsa
di Indonesia yang kini semakin kuat. Ketika bangsa ini kembali
dicoba oleh pengaruh asing untuk dikotak kotakan tidak saja oleh konflik
vertikal tetapi juga oleh pandangan terhadap ke Tuhanan Yang Maha
Esa. Maka dari itu Perlunya Penanaman Pancasila dalam kehidupan
Comments
Post a Comment