TUGAS MANDIRI DAMPAK KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME MATA KULIAH : KEWARGANEGARAAN
TUGAS MANDIRI
DAMPAK KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME
MATA KULIAH : KEWARGANEGARAAN
DISUSUN OLEH :
NAMA : ABDI
MAULANA
NPM : 141510123
UNIVERSITAS PUTERA BATAM
Puji Syukur Marilah kita ucapkan
kepada Tuhan Yang Maha Esa Yang telah melimpahkan Rahmat dan karuniaNYA kepada
kita semua, sehingga melalui proses yang panjang dan kerjasama yang baik tugas
makalah (artikel) “ Pendidikan Kewarganegaraan “ ini dapat diselesaikan.
Makalah (artikel) ini dibuat dengan
maksud untuk salah satu persyaratan nilai Pendukung Ujian akhir semester,
disamping itu makalah (artikel) ini juga memberikan manfaat kepada kita semua
tentang Dampak Korupsi,Kolusi dan Nepotisme .
Dan
tidak lupa saya ucapkan terimakasih kepada “Team Dosen” .Selaku dosen pemandu
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang telah membimbing saya dalam
mengerjakan tugas makalah (artikel) ini serta teman-teman yang telah memberikan
masukan.
Diharapkan makalah (artikel) ini
dapat bermanfaat bagi kita semua,oleh karena itu saya sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca, dan pihak-pihak yang telah ikut
membantu pembuatan makalah (artikel) ini.
Akhir kata saya mengucapkan
terima kasih kepada pihak yang telah mendukung,membantu dan bekerja sama dalam
penyusunan makalah (artikel) ini.
Batam,Desember 2014
ABDI MAULANA
Korupsi ( bahasa latin: courruptio
dari kata kerja corrumpere, yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat
publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar
dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya,
dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dalam arti yang luas, korupsi atau
korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan
pribadi.Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam
prakteknya.Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi
adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di
mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang
politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau
tidak.Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan
narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas
dalam hal-hal ini saja.Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya,
sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas kejahatan.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
di Indonesia telah menjadi penyakit sosial yang sangat membahayakan
kelangsungan kehidupan bangsa dari upaya mewujudkan keadilan sosial, kemakmuran
dan kemandirian, bahkan memenuhi hak-hak dasar kelompok masyarakat rentan
(fakir miskin, kaum jompo dan anak-anak terlantar). Menurunnya tingkat
kesejahteraan (menyengsarakan rakyat), kerusakan lingkungan sumber daya alam,
mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, hilangnya modal manusia yang handal,
rusaknya moral masyarakat secara besar-besaran bahkan menjadikan bangsa
pengemis merupakan cerminan dari dampak KKN.
Pada umumnya, korupsi adalah
“benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat
utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan negara. Selain itu,
Korupsi merupakan bagian dari gejala sosial yang masuk dalam klasifikasi
menyimpang (negative), karena merupakan suatu aksi tindak dan perilaku sosial
yang merugikan individu lain dalam masyarakat, menghilangkan kesepakatan
bersama yang berdasar pada keadilan, serta pembunuhan karakter terhadap
individu itu sendiri. Makna korupsi, sebagai suatu tindakan amoral, tidak
memihak kepentingan bersama (egois), mengabaikan etika, melanggar aturan hukum,
dan terlebih melanggar aturan agama.
Kondisi yang mendukung munculnya
Korupsi:
Konsentrasi
kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada
rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
Kurangnya
transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
Kampanye-kampanye
politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang
normal.
Proyek
yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
Lingkungan
tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
Lemahnya
ketertiban hukum.
Lemahnya
profesi hukum.
Kurangnya
kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
Gaji
pegawai pemerintah yang sangat kecil.
Rakyat
yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian
yang cukup ke pemilihan umum.
Ketidakadaannya
kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan
kampanye".
Bentuk-bentuk penyalahgunaan:
Korupsi mencakup penyalahgunaan
oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, juga penyalahgunaan
yang menghubungkan sektor swasta dan pemerintahan seperti penyogokan,
pemerasan, campuran tangan, dan penipuan.
Penyogokan:Penyogok
dan Penerima sogokan
Tuduhan
korupsi sebagai alat politik
Mengukur
korupsi
Kolusi adalah suatu kerja sama
melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan
pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau Negara.
Di dalam bidang studi ekonomi,
kolusi terjadi di dalam satu bidang industri disaat beberapa perusahaan saingan
bekerja sama untuk kepentingan mereka bersama. Kolusi paling sering terjadi
dalam satu bentuk pasar oligopoli, dimana keputusan beberapa perusahaan untuk
bekerja sama, dapat secara signifikan mempengaruhi pasar secara keseluruhan.
Kartel adalah kasus khusus dari kolusi berlebihan, yang juga dikenal sebagai
kolusi tersembunyi.
Kolusi merupakan
sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi
dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau
fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar.
Nepotisme adalah tindakan atau
perbuatan yang menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya di atas
kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara.
Nepotisme berarti lebih memilih
saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan
kemampuannya.Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori.
Sebagai contoh, kalau seorang
manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara, bukannya seseorang
yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah
karena nepotisme.
Dalam prakteknya Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN) sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas,
oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang
otentik.Disamping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang
pasti. Namun akses perbuatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini merupakan
bahaya laten yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat
itu sendiri. Tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini merupakan produk
dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard
kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang
kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam
golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan
menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat.
Dalam konteks USDRP yang diinisasi
Pemerintah dan Bank Dunia, KKN menjadi penyebab rendahnya daya saing suatu
daerah, terhambatnya proses pertumbuhan dan pengembangan ekonomi lokal/daerah
maupun semakin jeleknya kualitas dan kuantitas layanan publik. Untuk itu,
menjadi suatu kewajaran salah satu manual UIDP yang dikembangkan oleh CPMU
dengan dukungan Team Manajemen Konsultan UIDP dan MTAS mengembangkan manual
tentang Program Anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang dikenal Anti Corruption
Action Plan/ACAP. Tentunya pengembangan manual ACAP yang sedang disiapkan oleh
Team Konsultan Tingkat Nasional tersebut menjadi saksi bahwa Pemerintah dan
Bank Dunia melalui USDRP serius untuk membasmi pelaku Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN) beserta benih-benihnya. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
menjadi tumbuh subur pada suatu tatanan pemerintahan yang mengabaikan prinsip
demokratisasi dasar yakni transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dalam
pengelolaan sumber daya publik. Dampaknya paling dirasakan oleh kelompok sosial
masyarakat rentan baik secara ekonomi maupun akses, selain itu tumbuh
kembangnya budaya dan relasi informal dalam pelayanan publik serta distrust
terhadap pemerintahnya. Hernando de Soto (1992) misalnya menyatakan.
“….terdapat perilaku rasional (rational choice) dari masyarakat untuk menjadi
“informal” secara ekonomis terhadap pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh
pemerintah.Munculnya perilaku rational choice masyarakat tidak terlepas dari
perilaku birokrasi yang selama ini dirasakan oleh masyarakat.” Barzelay (1982)
dalam ‘Breaking Through Bureaucracy’ menyatakan “ masyarakat bosan pada
birokrasi yang rakus dan bekerja lamban”Bagaimana bila suatu saat mereka bisa
menduduki jabatan stategis dan basah.Bagaimana bila suatu saat mereka bisa
menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan
kreativitasnya untuk korupsi.Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang
berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan
dan bukan pencegahan (preventif).
Perkara Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN) yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif
maupun legislatif menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-undang Nomor 28
tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan
sosial masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para menteri, mantan
menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati, mantan bupati dan lain sebagainya
menunjukkan bahwa para pejabat negara yang diharapkan menjadi tauladan bagi
masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata justru mereka
yang harus duduk dikursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana korupsi. Kasus
Bulog dan kasus dana non bugeter DKP yang begitu kusut hanyalah sedikit dari
sekian banyak perkara pelaku korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di negara yang
berupaya mewujudkan good goverment and clean goverment sebagai salah satu
cita-cita reformasi.
Akibat – akibat Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN) ini adalah :
1. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari,
gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
2. ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan
alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
3. pengurangan kemampuan aparatur pemerintah,
pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Selanjutnya Mc Mullan (1961)
menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat
tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong
perusahaan untuk berusahaterutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik,
pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.
Berdasarkan pendapat para ahli di
atas, maka dapat disimpulkan akibat-akibat korupsi diatas adalah sebagai
berikut :
1. Tata ekonomi seperti
larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman
modal.
2. Tata sosial
budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
3. Tata politik seperti
pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan
pemerintah, ketidakstabilan politik.
4. Tata administrasi
seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi,hilangnya keahlian,
hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah,
pengambilan tindakan-tindakan represif.
Secara umum akibat Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN) adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan
serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Semangat dan upaya pemberantasan
korupsi di era reformasi ditandai dengan keluarnya berbagai produk
perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus, yaitu Komisi
Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).Harapan terhadap
produk-produk hukum diatas adalah praktek sebelum reformasi dapat dibawa kemeja
hijau dan uangnya dikembalikan pada negara, sedangkan pada pasca reformasi
dapat menjadi suatu usaha preventif. Namun apa yang terjadi dilapangan tidaklah
sesuai yang diharapkan. Beberapa kasus dimasa orde baru ada yang sampai kemeja
hijau.Walau ada yang sampai pada putusan hakim tapi lebih banyak yang
diputuskan atau bahkan hanya sampai pada penyidik dan Berita acara perkaranya
(BAP) mungkin disimpan dilemari sebagai koleksi pribadi pengadilan.Kemudian
timbul pertanyaan bagaimana hasilnya setelah pasca reformasi? Jawabannya adalah
sama saja walaupun sebenarnya dimasa presiden Susilo Bambang Yudoyono genderang
perang terhadap korupsi sudah menunjukan beberapa hasilnya, kalau tidak mau
disebut jalan ditempat.
Beberapa kasus besar memang telah
sampai pada putusan pemidanaan dan berkekuatan hukum tetap.Tapi perkara
korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) ini bukanlah monopoli dari kalangan elit
tapi juga oleh kalangan akar rumput walaupun kerugian yang ditimbulkan sedikit.
Permasalahan pokok yang menyebabkan
ketidaktertiban hukum ini adalah karena adanya ketidaktertiban sosial.Bila
bicara masalah hukum seharusnya tidak dilepaskan dari kehidupan sosial masyarakat
karena hukum merupakan hasil cerminan dari pola tingkah laku, tata aturan dan
kebiasaan dalam masyarakat.Namun sangat disayangkan hukum sering dijadikan
satu-satunya mesin dalam penanggulangan kejahatan dan melupakan masyarakat yang
sebenarnya menjadi basis utama dalam penegakan hukum. Jadi jelas bahwa aspek
sosial memegang peran yang penting dalam upaya pencegahan kejahatan yang
tentunya hasilnya akan lebih baik karena memungkinkan memutus mata rantainya.
Upaya Penanggulangan Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN) :
1. Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan
pegawai baik di instansipemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas
dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
2. Mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi
pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta,
agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan
tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
3. Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut
kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai
bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena
jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
4. Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan
lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.
5. Menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik
yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan
kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.
6. hal yang tidak kalah pentingnya adalah
bagaimana menumbuhkan “sense ofbelongingness” dikalangan pejabat dan pegawai,
sehingga mereka merasaperuasahaan tersebut adalah milik sendiri dan selalu
berusaha berbuat yang terbaik.
Pada akhirnya pemerintah mempunyai peran penting dalam
penanganan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini sehingga bangsa kita bisa
lebih menjadi lebih baik dan lebih maju.
Comments
Post a Comment